ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA NEONATORUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Asfiksia
adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir,
umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat
hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat,
atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan (Noname: Online).
Neonatus
adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan 28
hari,dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam
rahim menjadi diluar rahim.
Asfiksia
neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor
yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir.
Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi
tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi
bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi
gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Prawirohardjo: 1991).
Asfiksia
ini dapat terjadi karena hipoksia kronik dalam uetrus menyebabkan
tersedianya sedikit energi untuk dapat memenuhi kebutuhan pada saat
persalinan dan kelahiran. Sehingga, asfiksia intra uterin dapat terjadi,
dengan masalah sitemik yang mungkin terjadi. (Ladewig dkk: 2006).
Asfiksia
neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara
spontan dan teratur segera stelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai
dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan
asfiksia ini dapat terjadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ bayi
seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya asfiksia neonatorum
ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, atau dapat terjadi
segera setelah lahir. Banyak faktor yang menyebabkannya, diantaranya
adanya penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, paru,
gangguan kontraksi uterus pada ibu, resiko tinggi kehamilan, dapat
terjadi pada faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau
juga faktor janin itu sendiri. ( Hidayat, 2005).
2. Etiologi
Beberapa
kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang.
Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat
berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa
faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi
berikut ini:
1. Faktor ibu
a. Preeklampsia dan eklampsia
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c. Partus lama atau partus macet
d. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
e. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
(Anonim: Online)
Hipoksia
janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena pertukaran
gas serta transfer O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam
persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat
berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama
kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita oleh ibu
dalam persalinan.
Gangguan
menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit
menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain.
Pada keadaan terakhir ini pengaruh terhadap janin disebabkan oleh
gangguan oksigenasi serta kekurangan pemberian zat-zat makanan
berhubungan dengan gangguan fungsi plasenta. Hal ini dapat dicegah atau
dikurangi dengan melakukan pemeriksaan antenatal yang sempurna, sehingga
perbaikan sedini-dininya dapat diusahakan.
Faktor-faktor
yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hampir selalu
mengakibatkan hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia bayi. Keadaan
ini perlu dikenal, agar dapat dilakukan persiapan yang sempurna pada
saat bayi lahir. Faktor-faktor yang mendadak ini terdiri atas:
1. Faktor dari pihak janin seperti:
a. Gangguan aliran darah pada tali pusat karena tekanan tali pusat
b. Depresi
pernafasan karena obat-obat anastesia atau analgetik yang diberikan
kepada ibu, perdarahan intrakranial, dan kelainan bawaan.
2. Faktor dari pihak ibu seperti:
a. Gangguan his, misalnya hipertoni dan tetani
b. Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, misalnya pada plasenta previa
c. Hipertensi pada eklampsia
d. Gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta.
(Prawirohardjo:1991)
Penyebab asfiksia Stright (2004) :
1. Faktor ibu, meliputi amnionitis, anemia, diabetes, hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan, obat-obatan infeksi.
2. Faktor uterus, meliputi persalinan lama, persentasi janin abnormal.
3. Faktor plasenta, meliputi plasenta previa, solusio plasenta, insufisiensi plasenta.
4. Faktor umbilikal, meliputi prolaps tali pusat, lilitan tali pusat.
5. Faktor janin, meliputi disproporsi sefalopelvis, kelainan kongenital, kesulitan kelahiran.
Sedangkan penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1. Asfiksia dalam kehamilan
a. Penyakit infeksi akut
b. Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uraemia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f. Cacat bawaan
g. Trauma
2. Asfiksia dalam persalinan
a. Kekurangan O2.
- Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
- Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke uteri.
- Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
- Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul.
- Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
- Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
- Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.
b. Paralisis pusat pernafasan
- Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps
- Trauma dari dalam : akibat obet bius.
3. Patofisiologi
Penyebab
asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya
hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan
biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
(Anonim: Online).
Bila
janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan
terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi
lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak
dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus
sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang.
Janin
akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian
terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat
dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut
jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara
berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut,
bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus
menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat
lemas (flascid).
Pernafasan
makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder.
Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam
darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap
rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.
Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan
pemberian tidak dimulai segera. (Anonim: Online).
4. Klasifikasi
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR:
1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
2. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Dilakukan
pemantauan nilai APGAR pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai APGAR
5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai
skor mencapai 7. Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi
tidak menangis (bukan 1 menit seperti penilaian skor APGAR).
5. Penilaian APGAR Score
Penilaian
menurut score APGAR merupakan tes sederhana untuk memutuskan apakah
seorang bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan. Tes ini dapat
dilakukan dengan mengamati bayi segera setelah lahir (dalam menit
pertama), dan setelah 5 menit. Lakukan hal ini dengan cepat, karena jika
nilainya rendah, berarti bayi tersebut membutuhkan tindakan.
Observasi dan periksa :
A = “Appearance” (penampakan) perhatikan warna tubuh bayi.
P = “Pulse” (denyut). Dengarkan denyut jantung bayi dengan stetoskop atau palpasi denyut jantung dengan jari.
G
= “Grimace” (seringai). Gosok berulang-ulang dasar tumit ke dua tumit
kaki bayi dengan jari. Perhaitkan reaksi pada mukanya. Atau perhatikan
reaksinya ketika lender pada mukanya. Atau perhatikan reaksinya ketika
lender dari mulut dan tenggorokannya dihisap.
A
= “Activity”. Perhatikan cara bayi yang baru lahir menggerakkan kaki
dan tangannya atau tarik salah satu tangan/kakinya. Perhatikan bagaimana
kedua tangan dan kakinya bergerak sebagai reaksi terhadap rangsangan
tersebut.
R = “Repiration” (pernapasan). Perhatikan dada dan abdomen bayi. Perhatikan pernapasannya.
TANDA
|
0
|
1
|
2
|
JUMLAH NILAI
|
Frekwensi jantung
|
Tidak ada
|
Kurang dari 100 x/menit
|
Lebih dari 100 x/menit
| |
Usaha bernafas
|
Tidak ada
|
Lambat, tidak teratur
|
Menangis kuat
| |
Tonus otot
|
Lumpuh / lemas
|
Ekstremitas fleksi sedikit
|
Gerakan aktif
| |
Refleks
|
Tidak ada respon
|
Gerakan sedikit
|
Menangis batuk
| |
Warna
|
Biru/ pucat
|
Tubuh: kemerahan, ekstremitas: biru
|
Tubuh dan ekstremitas kemerahan
|
Apgar Skor : 7-10; bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
Apgar
Skor 4-6; (Asfiksia Neonatorum sedang); pada pemeriksaan fisik akan
terlihat frekwensi jantung lebih dari 100 X / menit, tonus otot kurang
baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
Apgar
Skor 0-3 (Asfiksia Neonatorum berat); pada pemeriksaan fisik ditemukan
frekwensi jantung kurang dari 100 X / menit, tonus otot buruk, sianosis
berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.
6. Manifestasi Klinis
1. Pada Kehamilan
Denyut
jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt,
halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
a. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
b. Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
c. Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau
sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik : kejang,
nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.
Bayi
tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100
x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon
terhadap refleks rangsangan.
(Anonim : online)
7. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Edema otak & Perdarahan otak
Pada
penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun
akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak
yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan
perdarahan otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi
ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan
ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang
disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan
lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah
mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
3. Kejang
Pada
bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut
karena perfusi jaringan tak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Asfiksia
yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia
janin. Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan
ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat
perhatian yaitu :
1. Denyut jantung janin
Frekuensi
normal ialah antara 120 dan 160 denyutan/menit, selama his frekuensi
ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan
tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah 100 kali permenit di luar
his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda
bahaya. Di beberapa klinik elektrokardigraf janin digunakan untuk
terus-menerus menghadapi keadaan denyut jantung dalam persalinan.
2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium
pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai.
Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan
indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan
menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh (sampel) darah janin.
Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH.
Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda
bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia. (Prawirohardjo: 1991)
Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya asfiksia pada bayi (pemeriksaan diagnostik) yaitu:
1. Analisa gas darah
2. Elektrolit darah
3. Gula darah
4. Berat bayi
5. USG ( Kepala )
6. Penilaian APGAR score
7. Pemeriksaan EGC dab CT- Scan
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos dada
b. USG kepala
c. Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
10. Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
a. Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
b. Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
c. Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan
a. Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
b. Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
a. Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara:
b. Kompresi dada.
c. Pengobatan
11. Tindakan Resusitasi
a. Detail Cara Resusitasi
Langkah-Langkah Resusitasi, sebagai berikut:
1. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
2. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar.
3. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
4. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih kemudian lanjutkan ke hidung.
5. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap punggung bayi.
6. Nilai
pernafasan. Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6
detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna
kulit jika merah / sinosis perifer, lakukan observasi, apabila biru
beri oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi
tekanan positif.
ü Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
ü Ventilasi
tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag atau
masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi
mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulut ke mulut, kecepatan
PPV 40 – 60 x / menit.
ü Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. Bila:
· 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
· 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
· 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai kompresi jantung.
· <10 disertai="disertai" jantung.="jantung." kompresi="kompresi" lakukan="lakukan" menit="menit" ppv="ppv" span="span" x="x">10>
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1. Ada 2 cara kompresi jantung yaitu:
1. Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh bayi.
2. Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang tubuh bayi.
7. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
8. Denyut
jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai
denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
9. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 : 10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara I.V.
10. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat.
11. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas tiap 3 – 5 menit.
12. Lakukan
penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak respon
terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2
MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007)
b. Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
a. Mengantisipasi
kebutuhan akan resusitasi lahirnya bayi dengan depresi dapat terjadi
tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau
asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan
intrapartum.
b. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan minumum antara lain :
1) Alat pemanas siap pakai – Oksigen
2) Alat pengisap
3) Alat sungkup dan balon resusitasi
4) Alat intubasi
5) Obat-obatan
c. Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
1) Tenaga kesehatan yang siap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
2) Tenaga
kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus
dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
3) Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai suatu tim yang terkoordinasi.
4) Prosedur
resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya
ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
5) Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia dan siap pakai.
12. Penatalaksanaan
1. Resusitasi
a. Tahapan resusitasi tidak melihat nilai APGAR.
b. Terapi medikamentosa :
2. Epinefrin
Indikasi :
Indikasi :
a. Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada.
b. Asistolik.
Dosis : 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB)
Dosis : 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB)
Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
3. Volume ekspander
Indikasi :
a. Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi.
b. Hipovolemia
kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya
pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak
memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
1) Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
2) Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.
Dosis : dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
4. Bikarbonat
Indikasi :
Indikasi :
a. Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
b. Penggunaan
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus
disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis: 1-2 mEq/kgBB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kgBB (8,4%)
Cara :
Cara :
Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.
5. Nalokson
Nalokson
hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi
pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan
stabil.
Indikasi :
a. Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan.
b. Jangan
diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai
pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba
pada sebagian bayi.
Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan I.M atau S.C.
6. Suportif
a. Jaga kehangatan.
b. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
c. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit).