Kamis, 22 Desember 2011

Cerpen Ma'afkan Aku IBu



Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. karena sanngat marah, Ana segera pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa. Dalam perjalanan, ia baru menyadari bahwa ia tidak membawa uang sama sekali. Ana memutuskan untuk pergi ke rumah temannya, Rani. Sesampainya di Rumah Rani, Ana langsung bertemu dengan Rani yang kebetulan sedang duduk ...di depan rumah. Rani dengan ramah menyambut Ana, dan Ana langsung menceritakan masalahnya kepada Rani. "Aku bertengkar dengan ibuku dan pergi dari rumah, tapi aku lupa membawa uang."Ya sudah, lebih baik kamu tidur disini untuk sementara. Hari sudah sangat malam.""Terima kasih Ran, kamu memang temanku yang baik. "Sama-sama An, aku akan menyiapkan tempat tidurmu dulu." Rani pun segera menyiapkan tempat tidur untuk Ana, sedangkan Ana mununggu di depan rumah. Tak lama kemudian Rani pun menghampiri Ana dan menyuruhnya untuk tidur duluan. Tapi Ana merasa sungkan untuk tidur duluan, Ana pun membujuk Rani untuk tidur bersama Karena tahu kalau ia akan tidur di kamar Rani yang tidak terlalu luas. Namun Rani bersikukuh supaya Ana tidur duluan, dia beralasan kalau dia belum mengantuk. Akhirnya Ana tidur terlebih dahulu. Waktu tengah malam, Ana terbangun dari tempat tidurnya menuju kamar kecil. Sewaktu kembali ke kamar tidur, Ana melihat Rani tidur di sofa ruang tamu. Seketika Ana merasa malu karena tidur di kamar orang lain sedangkan pemilik kamar sendiri tidur di sofa. Dengan berat hati Ana kembali ke tempat tidurnya. Esok harinya, Ana duduk termenung di teras rumah Rani. Sesaat kemudian, air mata Ana pun berlinang membasahi pipinya. Ana terharu mengingat Rani tadi malam yang rela tidur di sofa demi temannya. Tak lama kemudian datanglah Rani menyapa Ana. "Pagi An, lho kok kamu menangis sih. Kenapa An?" "Nggak apa-apa kok Ran, aku cuma kepikiran kamu tadi malem. Kok kamu tidur di sofa sih, kenapa nggak tidur di kamarmu bareng aku?" "Owh... soal itu, sudahlah An. Sudah sewajarnya aku begitu, kamu kan biasa tidur di kasur yang luas. Jadi aku cuma nggak mau mengganggumu saja. Sudah... nggak usah dipikirin." Mendengar pengakuan Rani, Ana semakin terharu. Dia tak menyangka, kalau temannya rela berkorban untuk dirinya. "Aku tak menyangka, begitu pedulinya dirimu padaku Ran. Sedangkan ibuku sekarang tidak mempedulikanku sama sekali." Mendengar perkataan Ana, hati Rani tersentak. Dengan menarik nafas panjang, Rani mencoba memberikan nasehat kepada temannya yang sedang dilanda Emosi. "Ana, kenapa kamu berkata seperti itu An. Kamu tidak pantas berkata seperti itu kepada ibumu. Bagaimanapun juga beliaulah yang melahirkanmu An.""Tapi itu memang kenyataannya Ran, dia tidak mempedulikan aku sekarang ini.""An, dengarkan aku dulu. Simpan air matamu karena kepedulianku padamu, berikan air matamu itu untuk kepedulian ibumu An. Coba renungkanlah, aku hanya memberimu tempat tidurku baru satu malam saja kau sudah sebegitunya terharu. Lalu bagaimana dengan ibumu yang sudah memberimu tempat terbaik di rahimnya selama sembilan bulan untuk mengandungmu. Kenapa engkau tidak lebih terharu kepadanya dan malah bertengkar dengannya." Deg! Hati Ana tergetar mendengar ucapan Rani yang begitu cepatnya meresap ke dalam lubuk hatinya. Tak terpikirkan sedikit pun oleh Ana tentang hal itu. Dengan segera, Ana pun merubah prasangka buruk di hatinya kepada ibunya. Ana jadi merasa bersalah kepada ibunya yang sedang sendirian di rumah mengkhawatirkan dirinya. "An, menurutku lebih baik pagi ini kamu pulang. Kasihan ibunmu, iya pasti mengkhawatirkanmu. Apa lagi beliau sendirian di rumah kan, segeralah pulang.""Terima kasih banyak Ran, kamu benar-benar temanku yang bijak. Kamu sudah menyadarkan aku dari prasangka buruk ini. Sekali lagi terima kasih banyak ya Ran, aku akan segera pulang.""Nah, itu baru temanku yang sayang sama ibunya. Ya sudah, segeralah berangkat dan mintalah maaf kepada ibumu.""Iya Ran, aku berangkat sekarang ya. Terima kasih banyak Ran.""Ya sama-sama, ati-ati di jalan ya." Ana berjalan dengan hati yang menggebu-gebu ingin segera bertemu dan memeluk ibunda tercinta. Langkahnya ringan menuju rumahnya yang kini tinggal ibunya seorang diri mengkhawatirkannya, ingin segera meminta maaf kepadanya. Tak lama kemudian, rumah Ana sudah di depan mata. Terlihat seorang wanita setengah baya yang tak lain adalah ibunda tercinta yang sedang gelisah mengkhawatirkan anak perempuannya. Ana mempercepat langkahnya ingin segera ia menghampiri ibunya dan meminta maaf. Baru sesampainya di depan halaman rumah, sang ibu segera bangkit dari tempat duduknya melihat anak perempuannya telah pulang. "Ana, akhirnya kamu pulang juga nak. Kamu kemana saja? Ibu khawatir. Oya, ibu sudah masakkan kamu sup ikan kesukaan kamu. Makanlah dulu, kamu pasti lapar kan. Cepatlah makan, nanti keburu dingin." Berlinanglah air mata Ana mendengar ucapan ibunya. Dengan segera ia peluk tubuh sang ibu, Ana meminta maaf dengan isak tangis yang mendalam. Dia sangat menyesali akan semua prasangka buruk kepada ibunya sendiri, pdahal semua itu sama sekali salah. "Ibu... Ana minta maaf bu. Selama ini Ana sudah berprasangka buruk sama ibu. Tapi ternyata ibu sangat sayang sama Ana, Ana minta maaf bu.""Kamu tidak perlu minta maaf nak. Ibu selalu memaafkan kamu setiap kamu berbuat salah, ibu maafin kamu nak. Sekarang kamu makan dulu ya.""Ana sayang ibu...""Ibu juga nak, ibu sangat sayang kepadamu." 

By: ‎::. اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ _ Sahabatz HAA .::